Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Labels

Blogroll

About

Blog Archive

Pages

Pengikut

Jumat, 23 Desember 2011

PRINSIP BEBAS NILAI DAN TERIKAT NILAI DALAM ILMU

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Filsafat Ilmu

Dosen Pengampu: Ali Usman


 


 


 

Disusun Oleh:

Dyah Sri Maftuhah        (09670025)

Alfian Nugroho        (09670029)

Hamzatul Munir        (09670030)

Putri Kusuma Ramadhani    (09670032)

Achmad Munaji        (10670043)


 

JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2011/2012

BAB I

PENDAHULUAN


 

I. Latar Belakang

            Ilmu pengetahuan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Namun, akibat perkembangan dan tuntutan zaman obyektifitas terhadap ilmu pengetahuan pun. Bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan itu menjadi problematika dalam kebutuhan zaman sekarang ini. Dikarenakan, penggunaan ilmu pengetahuan dalam kehidupan akan berdampak besar terhadap hasil dari suatu proses aplikasi ilmu.

            Aturan – aturan sosial juga ingin berperan dalam ilmu pengetahuan. Sehingga juga sangat mempengaruhi dalam proses penggunaan ilmu pengetahuan ke dalam kehidupan.


 

II. 2. Perumusan Masalah

1.      Apa problem etis dalam ilmu pengetahuan?

2.      Bagaimana sebenarnya prinsip bebas nilai dan terikat nilai dalam ilmu pengetahuan?


 

BAB II

ISI


 

II. 1. Problem Etis Dalam Ilmu Pengetahuan

            Rasional ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes dengan sikap skeptis  - metodisnya meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya sedang ragu – ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut pada masa Aufklarung, suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.

Weber menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai, tetapi ilmu – ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan. Nilai – nilai itu harus di implikasikan oleh bagian – bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan atau rasional. Habermas berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai. Pendidirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta atau ojek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang sudah jadi. Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah netral, karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis. Kepentingannya adalah memelihara serta memperluas bidang alaing pengertian antar manusia dan perbaikan komunikasi. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang, yaitu pekerjaan, otoritas, dan bahasa. Pekerjaan merupakan ilmu pengetahuan alam, otoritas merupakan kepentingan ilmu sosial, dan bahasa merupakan kepentingan ilmu sejarah dan hermeneutika.


 

II. 2. Bebas Nilai dan Terikat Nilai Dalam Ilmu\

a)      Bebas Nilai

Ilmu bebas nilai atau dalam bahasa inggris sering disebut dengan value free menyatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan nilai. Pembatasan etis hanya akan menghalangi eksplorasi pengembangan ilmu. Bebas nilai mengartikan bahwa semua kegiatan terkait pada penyelidikan ilmiah harus didasarkan pada hakikat ilmu itu sendiri. Etika hanya bekerja ketika ilmu telah selesai bekerja. Etika hanya bisa diterapkan pada manusianya, yaitu ilmuan. Yang harus dikenai nilai dan pernyataan normatif adalah ilmuan sebagai manusia. Kelompok ini memegangi pandangan Francis Bacon bahwa ilmu adalah kekuasaan, berkat atau malapetaka terletak pada orang yang menggunakan kakuasaan tersebut. Kekuasaan terletak pada si pemilik pengetahuan. Josep Situmorang menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu itu bebas nilai, yaitu:[1]

1.      Ilmu harus bebas dari pengandaian-pengandaian nilai. Maksudnya adalah bahwa ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologis, religius, kultural, dan sosial.

2.      Diperlukan adanya kebebasan usaha ilmiah agar otonomi ilmu terjamin. Kebebasan di sini menyangkut kemungkinan yang tersedia dan penentuan diri.

3.      Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis yang sering dituding menghambat kemajuan ilmu, karena nilai etis sendiri itu bersifat universal.

Persoalan – persoalan disiplin ilmu empirik adalah bahwa ian dipecahkan, bukan secara evaluatif. Tetapi persoalan – persolan ilmu sosial dipilih atau di tentukan melaluia nilai yang relevan dari fenomena yang di tampilkan.[2]

b)      Terikat Nilai

Berbeda dengan ilmu yang bebas nilai, ilmu yang terikat nilai (value bond) memandang bahwa ilmu itu selalu terikat dengan nilai dan harus dikembangan dengan mempertimbangkan aspek nilai dan terutama nilai. Pengembangan ilmu jelas tidak mungkin bisa terlepas dari nilai-nilai, lepas dari kepentingan-kepentingan baik politis, ekonomis, religius, ekologis, dan lain-lain sebagainya. Dalam pandangan terikat nilai ini kata "nilai" juga memiliki makna yang lebih luas. Pertama, makna nilai bukan hanya dalam konteks baik buruk tetapi juga dalam konteks ada kepentingan atau tidak. Kedua, terikat nilai tidak hanya berlaku bagi ilmuan tetapi juga bagi ilmu itu sendiri, sehingga memasuki wilayah epistemologis. Keduanya saling tekait.

Beberapa filosofis menunjukkan bahwa ilmu tidak bebas dari kepentingan. Diantaranya, menurut Gadamer, ilmu hanya bisa bekerja karena ia tertancap dalam tradisi yang telah berlangsung lama sehingga seseorang tidak mungkin netral terhadap seluruh tradisi. Justru tradisi yang memungkinkan manusia membangun pengetahuan atau ilmu. Michel Foucault juga menunjukkan bahwa ilmu merupakan kekuasaan. Ilmu melahirkan kekuasaan, dan kekuasaan melahirkan ilmu. Kuasa adalah kekuatan untuk mendefinisikan dan menisiplinkan, normalisasidan regulasi pihak lain melalui pertukaran wacana. Ilmu merupakan bangunan kompleks wacana. Jurgen Habermas berpendapat bahwa ilmu bahkan ilmu alam sekalipun tidaklah mungkin bebas nilai karena pengembangan setiap ilmu selalu selalu ada kepentingan-kepentingan. Dia membedakan tiga macam ilmu dengan kepentingannya masing-masing.

1.      Berupa ilmu-ilmu alam yang bekerja secara empiris-analitis. Ilmu-ilmu ini menyelidiki gejala-gejala alam secara empiris dan menyajikan hasil penyelidikan itu untuk kepentingan-kepentingan manusia. Teori-teori ilmiah disusun, agar dirinya dapat diturunkan pengetahuan-pengetahuan terapan yang bersifat teknis. Pengetahuan teknis ini menghasilkan teknologi sebagai upaya manusia mengelola dunia atau alamnya. Maka tampaklah disini bahwa ilmu-ilmu ini memperlihatkan pola hubungan manusia dan dunia, manusia mengelola dan menggarap dunia. Dalam ilmu-ilmu ini ditunjukkan aspek pekerjaan dalam sosialita manusia (labor), sedang kepentingan manusia yang terkandung dalam ilmu itu adalah prediksi dan pengawasan terhadap alam.

2.      Pengetahuan yang memiliki pola yang sangat berlainan, sebab tidak menyelidiki sesuatu dan tidak menghasilkan sesuatu, melainkan memahami manusia sebagai sesamanya, memperlancar hubungan sosial. Oleh Habermas ini disebut dengan studi histori-hermeneutik. Sifat historis memperlihatkan adanya gejala perkembangan dari objek yang diselidiki, yakni manusia. Hasil yang dihasilkan disini adalah kemampuan komunikasi, saling pengertian karena pemahaman makna. Dan hermeneutik yaitu penafsiran menurut tata cara tertentu yang dihasilkan oleh pengetahuan itu. Aspek kemasyarakatan yang dibahas disini adalah hubungan sosial atau interaksi, sedangkan kepentingan yang di tuju oleh pengetahun ini adalah pemahaman makna.

3.      Teori kritis, teori yang membongkar penindasan dan mendewasakan manusia pada otonomi dirinya sendiri. Disini, sadar diri sangat dipentingkan. Aspek sosial yang mendasarinya adalah dominasi kekuasaan dan kepentingan yang di kejar adalah pembebasan atau emansipasi manusia.
Jelas sekali dalam pandangan Harbermas bahwa ilmu itu sendiri dikonstruksi untuk kepentingan-kepentingan tertentu, yakni nilai relasional antara manusia dan alam, manusia dan manusia, dan nilai penghormatan terhadap manusia. Jika lahirnya ilmu saja terkait dengan nilai, maka ilmu itu sendiri tidak mungkin bekerja lepas dari nilai.


 

II. 3. Kebebasan Ilmu pengetahuan

            Ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai – nilai yang letaknya di luar ilmu pengetahuan, hal ini dapat juga di ungkapkan dengan rumusan singkat bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas.[3] Maksud dari kata kebebasan adalah kemungkinan untuk memilih dan kemampuan atau hak subyek bersangkutan untuk memilih sendiri. Supaya terdapat kebebasan, harus ada penentuan diri dan bukan penentuan dari luar. Jika dalam suatu ilmu tertentu terdapat situasi bahwa ada berbagai hipotesa atau teori yang semuanya tidak seluruhnya memadai, maka sudah jelas akan di anggap suatu pelanggaran kebebasan ilmu pengetahuan, bila suatu instansi dari luar memberi petunjuk teori mana harus di terima. Menerima teori berarti menentukan diri berdasarkan satu – satunya alasan yang penting dalam bidang ilmiah, yaitu wawasan akan benarnya teori. Apa yang menjadi tujuan seluruh kegiatan ilmian disini mecapai pemenuhannya. Dengan demikian penentuan diri terwujud sunguh – sungguh. Walaupun terlihat dipaksakan, namun penentuan diri ini sungguh bebas, karena dilakukan bukan berdasarkan alasan – alasan yang kurang dimengerti subyek sendiri melainkan berdasarkan wawasan sepenuhnya tentang kebenaran.


 

II. 4. Kegiatan Nilai dan Nilai Etisnya

            Dalam kaitan dengan otonomi ilmu pengetahuan, masih ada hal lain yang perlu kita perhatikan. Otonomi ilmu pengetahuan tentu tidak bisa dan tidak boleh berarti bahwa penelitian ilmiah tidak perlu menghiraukan nilai luar ilmiah apa pun. Pada situasi konflik perlu diperhatikan bahwa konflik sebenarnya tidak berlangsung antara nilai – nilai etis di suatu pihak dan nilai – nilai ilmiah di lain pihak.  Dikarenakan kewajiban etis bersifat absolut. Ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai, dikarenakan ia sendiri mengejawantahkan suatu nilai etis, bertambah relevansi etisnya karena semakin erat kaitannya dengan praksis.


 


 

II. 5. Bebas Nilai dan Obyektifitas

            Salah satu kesulitan yang dihadapi ilmu – ilmu manusia ialah cara khusus manusia terlibat dalam ilmu – ilmu itu, sebagai subyek maupun obyek. Ia terlibat sebagai subyek tentu karena dialah yang mempraktekkan ilmu pengetahuan alam. Tapi ia terlibat sebagai obyek, hanya sejauh ia sebagai makhluk alam bisa menjadi pokok pmbicaraan ilmu alam. Sebab, sebagai makhluk alam ia dikuasai oleh hukum – hukum fisis, kimiawi, dan biologis. Tetapi kegiatan yang dilakukan ilmu alam tidak merupakan obyek penelitian ilmu alam. Karena ilmu alam merupakan suatu aktivitas manusiawi yang khas.


 

II. 6. Teori dan Bebas Nilai

            Sejak ilmu pengetahuan di tandai pertautan antara teori dan praksis, maka apa yang berlaku bagi praksis berlaku juga bagi teori, karena yang terakhir tidak dapat berkembang tanpa praksis. Walaupun pengalaman eksperimental dalam ilmu – ilmu manusia sangat di perlukan, namun satu – satunya arah yang mengizinkan eksperimentasi adalah arah menuju kemanusian yang lebih baik serta utuh dan menuju suatu bentuk kemasyarakatan yang memungkinkan hal itu. Dalam hal ini, tuntutan tadi bukanlah tuntutan yang berasal dari luar, bukan sesuatu yang diperintahkan oleh etika kepada ilmu – ilmu manusia. Tuntutan itu berasal dari obyek ilmu itu sendiri, yaitu manusia. Siapa yang ingin mengetahui sesuatu tentang manusia, harus melihatnya sebagai makhluk yang hidup dalam ketegangan antara apa adanya dan apa seharusnya ada.


 

BAB III

PENUTUP


 

III. 1. Kesimpulan

            Dalam menggunakan ilmu pengetahuan, seharusnya melihat berbagai aspek. Baik dari segi norma, sosial, dan kegunaan dari ilmu sendiri. Karena hasil dari ilmu, pasti akan berdampak besar dengan yang lainnya. Seperti kemajuan ilmu pengetahuan suatu negara akan mendorong perekonomian negara tersebut. Sehingga ilmu itu harus terikat nilai. Karena perlu di perhatikan faktor sebab dan akibat dalam penggunaan ilmu pengetahuan. Dan juga subyek dan obyek ilmu sendiri adalah manusia, sehingga karena manusia memiliki tatanan nilai lainnya, tentunya akan mempengaruhi dalam penggunaan ilmu.


 

DAFTAR PUSTAKA


 

Amsal Bakhtiar. Filsafat ilmu. 2005. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Franz Magnis Suseno. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. 2010. Yogyakarta: Kanisius

Prof. Dr. A.G.M van Melsen. Ilmu Pengetahuan Dan Tanggung Jawab Kita. 1992.  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Prof. Dr. H. Bachri Ghazali, Dkk. Filsafat Ilmu. 2005. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga

Rizal Mustansyur dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


 


 

[1] Rizal Mustansyur dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, 2009, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hlm. 171

[2]
Ibid. Hlm. 169

[3] A.G.M van Melsen, Ilmu Pengetahuan Dan Tanggung Jawab Kita, 1992,  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 1992

0 komentar: